Oleh Lilis Yuningsih
Perjalanan malam kali ini tak terhindarkan lagi. Agar tidak sepi, sambil ngecek modulasi, aku putar gelombang radio tempatku bekerja. Di daerah Sumedang suara Bang Ray, rekan penyiarku, terdengar begitu jelas. Bang Ray sedang kirim-kirim lagu dan menyapa pendengarnya sambil tidak lupa mengingatkan protocol Covid-19. Sebelum memutar lagu, sebuah nama udara “Melati” dia sapa dengan mesra, siapapun yang mendengarnya pasti klepek-klepek. Aku pun sedikit terganggu cemburu.
Bang Ray adalah penyiar paling senior, baik usia maupun pengalamannya sebagai penyiar. Diantara kami, acara dia yang paling tinggi ratingnya. Mungkin karena selain suaranya yang oke, wawasan pengetahuan umum dan wawasan tentang lagu juga paling luas. Bang Ray kalau sedang mengudara, memang ramah dan penuh perhatian, namun didarat, cenderung cuek dan serius. Aku sebagai orang baru dan paling yunior, merasa agak segan padanya. Selain itu usia kami bertaut 9 tahun, aku baru 22, dia sudah 31 tahun.
Selesai miting dengan pimpinan siang itu, Bang Ray memanggilku memintaku ikut dia ke Diskominfo. Aku mengiyakan, kebetulan jadwal kuliah virtualku kosong. Sesuai protocol Covid aku duduk di belakang, Bang Ray pegang kemudi. Suasana kaku dan beku, begitulah Bang Ray kalau tidak sedang mengudara. Aku pun tak berani memulai percakapan. Sambil memandangku melalui spion, tiba-tiba dia, bergumam, “Melati, maukah menikah dengan Bang Ray”? Aku gelagapan dengan muka terasa memerah.