Kamis, 02 Desember 2021

Cerpen "Sekar Si Anak Basis"

 

SEKAR SI ANAK BASIS

Sumber : pantauterkiniwajo.blogspot.com


Fajar nan indah. Saat mentari berdendang hangat. Cakrawala menghamparkan biru melebar. Andai hati insan dapat memandang. Betapa pagi dimulai tak bersarat. Andai sebentuk kedamaian mulai tergambar.

Fajar itu kulalui jalanan kota sendiri. Jalanan yang berhiaskan pepohonan rindang nan meranggas. Jalanan kota menghadirkan sejuta asa. Sunyi masih terasa memulai hari. Dengan sedan tua kuawali pagi.

“Ku yang dulu bukanlah yang sekarang. Dulu di tendang sekarang ku di sayang …,” sayup ku dengar suara lembut di bawah lampu merah. Diiringi tepukan tangannya sebagai pengiring lagu, ku lihat sesosok gadis lusuh menyanyikan lagu yang pernah dipopulerkan Tegar sang pengamen cilik jalanan.

            Di balut kaos hitam, celana jeans sobek di bagian lututnya, yang juga berwarna hitam, dan sepatu lusuh hitam. Sehitam kehidupannya di jalanan. Memang belakangan ini mulai marak remaja yang berpenampilan sepertinya. Mereka menyebut dirinya anak punk.

Sekilas terpancar seberkas wajahnya yang manis. Wajah manisnya tidak bisa tertutupi lusuhnya busana yang dikenakannya. Berbeda dengan anak punk lainnya yang relatif terlihat kotor, lusuh dan kumal. Jika dilihat dari raut wajahnya, dia bukanlah bagian dari mereka. Tapi kenyataannya, gadis itu, pagi buta berada di lampu merah, apalagi kalau bukan bagian dari anak punk.

Ah, andai kehidupanya semanis wajahnya. Atau ini bukan akhir episode kehidupanya,” gumamku dalam hati, sambil terus memperhatikan gerak geriknya. Dari dua pengendara motor yang dihampirinya, tak ada satu pun yang memberinya uang.

“Hidupku dulunya seorang pengamen, pulang malam selalu bawa uang recehan …,” sekarang suara itu terdengar sangat jelas. Tepat di samping pintu mobil sedan yang kutumpangi, gadis itu melanjutkan nyanyiannya, masih dengan tepukan ringan tangannya sebagai pengiring lagu.

“Mau ikut jalan-jalan?” Tanyaku sambil memberikan uang receh seribuan. Tak di sangka, gadis lusuh itu langsung membuka pintu mobil belakang dan langsung duduk di jok belakang. Aku sedikit terkejut, karena tak menyangka, basa-basi ku disambutnya dengan semangat. Tak banyak yang kutanyakan, mobil langsung kujalankan bertepatan dengan pergantian lampu merah ke lampu hijau.

Sambil ku jalankan mobil dengan perlahan, kutatap wajah gadis di belakangku melalui  cermin mobil di atas dashboard. Terlihat wajah gelisah terpancar di raut wajahnya. Entah apa yang dipikirkannya. Tatapan wajahnya terlihat kosong, seolah memandang pepohonan dari kaca pintu mobil.

“Nama kamu siapa?” tanyaku, memecah kebisuan sambil terus menjalankan mobil tanpa memikirkan kemana akan kubawa mobil dan penumpang di belakangku.

“Sekar,” jawabnya datar sambil terus menatap ke luar. Wajahnya terlihat sedikit berubah, tidak lagi terlihat raut wajah gelisah. Mungkin karena pertanyaanku yang membuatnya berubah. Tatapannya sudah mulai tenang. Sesekali terdengar helaan nafas panjangnya, mungkin itu cara dia menenangkan hatinya.

“Sekar…, kamu tidak takut?” Tanyaku lagi mencoba lebih akrab, untuk lebih menenangkan kegelisahan hatinya. Dan benar saja, sekilas kulihat gadis yang ternyata bernama Sekar itu, menoleh ke arah cermin dan sudah berani menatapku melalui cermin di atas dashboard.

“Takut…,” jawabnya, sambil tertawa kecil menandakan hatinya benar-benar sudah tenang. Atau mencoba untuk menenangkan diri.

“Om mau menculik aku? Terus perkosa aku?” jawabnya sambil tersenyum manis. Ya, senyumnya memang manis. Gadis ini sepertinya seumuran dengan Salma anakku. Betapa sedih hatiku, jika Salma anakku berada di posisi dia. Aku juga bisa membayangkan, betapa sedih hati orang tuanya, jika mengetahui keberadaan anak gadisnya. Setidaknya itu yang terlintas di pikiranku.

Ah, sayang sekali kalau gadis manis ini harus hidup di jalanan.” Pikirku sambil terus menginjak gas mobil dengan lembut tanpa tahu arah yang akan dituju. Memang pagi itu aku hanya berniat untuk jalan-jalan menikmati indahnya kota dan segarnya udara pagi.

“Andai yang kamu fikirkan benar adanya, apa yang kamu lakukan?” Tanyaku menyambung pembicaraan yang sempat terhenti sesaat, sambil melirik ke arah cermin di atas dashboard . Sekilas kulihat dia duduk santai sambil memainkan ponsel-nya, seolah sudah bisa menguasai kegelisahannya.

“Ha ha ha…,” tiba-tiba terdengar tawanya yang begitu lepas, seolah tak ada beban atau ketakutan sedikitpun. “Jadi bener, Om mau menculik aku, terus memperkosa aku? Aku ko ga percaya ya!” Jawabnya dengan tenang, bahkan seolah mengajak bercanda. Ada kecerdasan yang tersirat dari jawabanya.

“Kamu anak punk? Tanyaku lagi yang mulai terbiasa dengan gadis ini.

“Bukan, Om…,” jawabnya santai sambil sesekali memainkan ponselnya. Entah sedang berkomunikasi dengan siapa. Atau mungkin hanya iseng untuk menghilangkan kekakuan.

“Lalu kenapa kamu memakai pakaian seperti itu?” Tanyaku lagi yang mulai penasaran.

“Begini, Om, tadi malam ada konser Viera di alun-alun, karena aku nge-fans sama Viera, makanya aku datang. Aku berangkat kemarin sore bersama teman-teman, numpang mobil bak. Selesai konser, kami kemalaman, akhirnya tidur di masjid. Saat aku bangun, aku kehilangan teman-temanku, aku ga bisa pulang, makanya aku ngamen buat ongkos naik elf. Begitu ceritanya, Om.” Akhirnya Sekar menceritakan semua pengalamanya dengan penuh percaya diri, seolah dia sudah percaya denganku.

“Syukurlah kalau kamu bukan anak punk. Om kasihan kalau gadis secantik kamu hidup tidak karuan di jalan. Tidak punya masa depan, dan hanya jadi sampah masyarakat-“

“Om kaya guru aku ya, cerewet.” Tiba-tiba Sekar menimpali perkataanku yang belum selesai. Sejenak aku hentikan perkataanku. Aku sedikit terkejut dengan ucapannya. Mungkin dia bosan dengan petuah yang sama, yang dilontarkan oleh orang-orang yang peduli kepadanya.

“O, ya, sekarang banyak anak-anak seperti kamu yang suka memberhentikan mobil bak di jalan. Kalau anak seperti itu namanya kelompok apa?” tanyaku mengalihkan pembicaraan, selain memang ingin tahu perbedaan anak punk dengan anak seperti Sekar.

“Kalau yang suka menghentikan mobil seperti aku disebutnya Basis, Om.” Jawabnya sambil matanya menyapu keluar, seolah mencari sesuatu.

Basis itu apa?” tanyaku penasaran.

“Kata orang, Basis itu singkatan dari Barisan Anak Setan,” jawabnya ringan, sambil lagi-lagi memainkan ponsel-nya.

“Hah! serem juga ya! Kamu mau dibilang anak setan?” Tanyaku yang memang sedikit terkejut setelah mengetahui kepanjangan dari Basis, sebutan untuk anak sepertinya.

“Ga papa lah, Om, lagian cuma sebutan ini. Yang penting kitanya ga seperti setan.” Jawabnya ringan sambil lagi-lagi melihat ponsel-nya. Terlintas kedewasaan dari jawabannya. Paling tidak dia bisa menempatkan sebutan setan dengan tidak diterapkanya dalam pergaulan.

“Ya! Tunggu! Bentar lagi aku sampai.” Sekar berbicara lewat ponsel-nya, entah dengan siapa. “Om, berhenti Om! Itu di depan ada temen-temen aku.” Tiba-tiba Sekar meminta untuk berhenti di pertigaan jalan. Tanpa pikir panjang, aku pun mengarahkan sedan tuaku ke pinggir jalan dan berhenti untuk menurunkan Sekar si anak Basis.

Ternyata sedari tadi dia berkomunikasi dengan temannya. Dengan sigap Sekar pun membuka pintu mobil sambil mengucapkan terima kasih. Menandakan dia bukanlah anak urakan seperti yang tergambar dari busana yang dikenakannya.

Sesaat diapun berlari kecil menuju kerumunan remaja sepertinya yang berusaha memberhentikan setiap mobil bak yang melintas. Sesekali Sekar melempar senyum manisnya ke arahku.

Terlintas di pikiranku, salahkah jalan yang ditempuhnya. Sementara di jalanan inilah mereka ditempa, betapa kerasnya dunia. Yang pada akhirnya mereka akan kebal terhadap masalah yang dihadapinya di masa datang. Mungkin bimbingan orang tua yang bisa mengarahkan, sehingga anak semacam Sekar ini tidak terjerumus ke dalam hitamnya dunia yang dilambangkan dengan hitamnya baju yang mereka kenakan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

10

10 komentar:

  1. Menyentuh...kok sama y..sy jg merasa prihatin dgn komunitas mereka..baguuss gaya bahasanya .
    Kita terbawa isi cerita..👍👍👍👏👏👏

    BalasHapus
  2. Sebagian generasi bangsa, berhabitat dan ditempa di perempatan lampu merah.... Lalu, tanggung jawab sispa mereka?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yang jelas kita sebagai guru bertanggung jawab atas anak yang dititipkan orang tua kepada kita

      Hapus
  3. Kalau bertemu dengan mereka batin saya selalu berkata "semoga tidak ada murid-murid ku diantara mereka! ".

    BalasHapus
  4. Kurangnya perhatian orangtua adalah salahsatu penyebab maraknya anak basis/ punk.

    BalasHapus
  5. Balasan
    1. Semoga menjelma menjadi orang tua yang tangguh

      Hapus