SEKAR SI ANAK BASIS
Sumber :
pantauterkiniwajo.blogspot.com
Fajar nan indah.
Saat mentari berdendang hangat. Cakrawala menghamparkan biru melebar. Andai
hati insan dapat memandang. Betapa pagi dimulai tak bersarat. Andai sebentuk
kedamaian mulai tergambar.
Fajar itu kulalui
jalanan kota sendiri. Jalanan yang berhiaskan pepohonan rindang nan meranggas.
Jalanan kota menghadirkan sejuta asa. Sunyi masih terasa memulai hari. Dengan
sedan tua kuawali pagi.
“Ku yang dulu
bukanlah yang sekarang. Dulu di tendang sekarang ku di sayang …,” sayup ku
dengar suara lembut di bawah lampu merah. Diiringi tepukan tangannya sebagai
pengiring lagu, ku lihat sesosok gadis lusuh menyanyikan lagu yang pernah
dipopulerkan Tegar sang pengamen cilik jalanan.
Di
balut kaos hitam, celana jeans sobek
di bagian lututnya, yang juga berwarna hitam, dan sepatu lusuh hitam. Sehitam
kehidupannya di jalanan. Memang belakangan ini mulai marak remaja yang
berpenampilan sepertinya. Mereka menyebut dirinya anak punk.
Sekilas
terpancar seberkas wajahnya yang manis. Wajah manisnya tidak bisa tertutupi lusuhnya
busana yang dikenakannya. Berbeda dengan anak punk lainnya yang relatif terlihat kotor, lusuh dan kumal. Jika
dilihat dari raut wajahnya, dia bukanlah bagian dari mereka. Tapi kenyataannya,
gadis itu, pagi buta berada di lampu merah, apalagi kalau bukan bagian dari
anak punk.
“Ah, andai kehidupanya semanis wajahnya. Atau
ini bukan akhir episode kehidupanya,” gumamku dalam hati, sambil terus
memperhatikan gerak geriknya. Dari dua pengendara motor yang dihampirinya, tak ada
satu pun yang memberinya uang.
“Hidupku dulunya
seorang pengamen, pulang malam selalu bawa uang recehan …,” sekarang suara itu
terdengar sangat jelas. Tepat di samping pintu mobil sedan yang kutumpangi,
gadis itu melanjutkan nyanyiannya, masih dengan tepukan ringan tangannya
sebagai pengiring lagu.
“Mau ikut
jalan-jalan?” Tanyaku sambil memberikan uang receh seribuan. Tak di sangka,
gadis lusuh itu langsung membuka pintu mobil belakang dan langsung duduk di jok
belakang. Aku sedikit terkejut, karena tak menyangka, basa-basi ku disambutnya
dengan semangat. Tak banyak yang kutanyakan, mobil langsung kujalankan
bertepatan dengan pergantian lampu merah ke lampu hijau.
Sambil ku
jalankan mobil dengan perlahan, kutatap wajah gadis di belakangku melalui cermin mobil di atas dashboard. Terlihat wajah gelisah terpancar di raut wajahnya. Entah
apa yang dipikirkannya. Tatapan wajahnya terlihat kosong, seolah memandang
pepohonan dari kaca pintu mobil.
“Nama kamu
siapa?” tanyaku, memecah kebisuan sambil terus menjalankan mobil tanpa memikirkan
kemana akan kubawa mobil dan penumpang di belakangku.
“Sekar,”
jawabnya datar sambil terus menatap ke luar. Wajahnya terlihat sedikit berubah,
tidak lagi terlihat raut wajah gelisah. Mungkin karena pertanyaanku yang
membuatnya berubah. Tatapannya sudah mulai tenang. Sesekali terdengar helaan
nafas panjangnya, mungkin itu cara dia menenangkan hatinya.
“Sekar…, kamu
tidak takut?” Tanyaku lagi mencoba lebih akrab, untuk lebih menenangkan kegelisahan
hatinya. Dan benar saja, sekilas kulihat gadis yang ternyata bernama Sekar itu,
menoleh ke arah cermin dan sudah berani menatapku melalui cermin di atas dashboard.
“Takut…,”
jawabnya, sambil tertawa kecil menandakan hatinya benar-benar sudah tenang.
Atau mencoba untuk menenangkan diri.
“Om mau menculik
aku? Terus perkosa aku?” jawabnya sambil tersenyum manis. Ya, senyumnya memang
manis. Gadis ini sepertinya seumuran dengan Salma anakku. Betapa sedih hatiku,
jika Salma anakku berada di posisi dia. Aku juga bisa membayangkan, betapa
sedih hati orang tuanya, jika mengetahui keberadaan anak gadisnya. Setidaknya
itu yang terlintas di pikiranku.
“Ah, sayang sekali kalau gadis manis ini
harus hidup di jalanan.” Pikirku sambil terus menginjak gas mobil dengan
lembut tanpa tahu arah yang akan dituju. Memang pagi itu aku hanya berniat
untuk jalan-jalan menikmati indahnya kota dan segarnya udara pagi.
“Andai yang kamu
fikirkan benar adanya, apa yang kamu lakukan?” Tanyaku menyambung pembicaraan
yang sempat terhenti sesaat, sambil melirik ke arah cermin di atas dashboard . Sekilas kulihat dia duduk
santai sambil memainkan ponsel-nya,
seolah sudah bisa menguasai kegelisahannya.
“Ha ha ha…,”
tiba-tiba terdengar tawanya yang begitu lepas, seolah tak ada beban atau
ketakutan sedikitpun. “Jadi bener, Om mau menculik aku, terus memperkosa aku? Aku
ko ga percaya ya!” Jawabnya dengan tenang, bahkan seolah mengajak bercanda. Ada
kecerdasan yang tersirat dari jawabanya.
“Kamu anak punk?”
Tanyaku lagi yang mulai terbiasa dengan gadis ini.
“Bukan, Om…,”
jawabnya santai sambil sesekali memainkan ponselnya. Entah sedang berkomunikasi
dengan siapa. Atau mungkin hanya iseng untuk menghilangkan kekakuan.
“Lalu kenapa
kamu memakai pakaian seperti itu?” Tanyaku lagi yang mulai penasaran.
“Begini, Om, tadi
malam ada konser Viera di alun-alun,
karena aku nge-fans sama Viera, makanya aku datang. Aku berangkat
kemarin sore bersama teman-teman, numpang mobil bak. Selesai konser, kami kemalaman,
akhirnya tidur di masjid. Saat aku bangun, aku kehilangan teman-temanku, aku ga
bisa pulang, makanya aku ngamen buat ongkos naik elf. Begitu ceritanya, Om.”
Akhirnya Sekar menceritakan semua pengalamanya dengan penuh percaya diri,
seolah dia sudah percaya denganku.
“Syukurlah kalau
kamu bukan anak punk. Om kasihan
kalau gadis secantik kamu hidup tidak karuan di jalan. Tidak punya masa depan,
dan hanya jadi sampah masyarakat-“
“Om kaya guru
aku ya, cerewet.” Tiba-tiba Sekar menimpali perkataanku yang belum selesai.
Sejenak aku hentikan perkataanku. Aku sedikit terkejut dengan ucapannya.
Mungkin dia bosan dengan petuah yang sama, yang dilontarkan oleh orang-orang
yang peduli kepadanya.
“O, ya, sekarang
banyak anak-anak seperti kamu yang suka memberhentikan mobil bak di jalan.
Kalau anak seperti itu namanya kelompok apa?” tanyaku mengalihkan pembicaraan,
selain memang ingin tahu perbedaan anak punk
dengan anak seperti Sekar.
“Kalau yang suka
menghentikan mobil seperti aku disebutnya Basis,
Om.” Jawabnya sambil matanya menyapu keluar, seolah mencari sesuatu.
“Basis itu apa?” tanyaku penasaran.
“Kata orang, Basis itu singkatan dari Barisan Anak Setan,” jawabnya ringan,
sambil lagi-lagi memainkan ponsel-nya.
“Hah! serem juga
ya! Kamu mau dibilang anak setan?” Tanyaku yang memang sedikit terkejut setelah
mengetahui kepanjangan dari Basis, sebutan
untuk anak sepertinya.
“Ga papa lah, Om,
lagian cuma sebutan ini. Yang penting kitanya ga seperti setan.” Jawabnya
ringan sambil lagi-lagi melihat ponsel-nya.
Terlintas kedewasaan dari jawabannya. Paling tidak dia bisa menempatkan sebutan
setan dengan tidak diterapkanya dalam pergaulan.
“Ya! Tunggu!
Bentar lagi aku sampai.” Sekar berbicara lewat ponsel-nya, entah dengan siapa. “Om, berhenti Om! Itu di depan ada
temen-temen aku.” Tiba-tiba Sekar meminta untuk berhenti di pertigaan jalan.
Tanpa pikir panjang, aku pun mengarahkan sedan tuaku ke pinggir jalan dan
berhenti untuk menurunkan Sekar si anak Basis.
Ternyata sedari
tadi dia berkomunikasi dengan temannya. Dengan sigap Sekar pun membuka pintu
mobil sambil mengucapkan terima kasih. Menandakan dia bukanlah anak urakan
seperti yang tergambar dari busana yang dikenakannya.
Sesaat diapun
berlari kecil menuju kerumunan remaja sepertinya yang berusaha memberhentikan
setiap mobil bak yang melintas. Sesekali Sekar melempar senyum manisnya ke
arahku.
Terlintas di
pikiranku, salahkah jalan yang ditempuhnya. Sementara di jalanan inilah mereka
ditempa, betapa kerasnya dunia. Yang pada akhirnya mereka akan kebal terhadap
masalah yang dihadapinya di masa datang. Mungkin bimbingan orang tua yang bisa
mengarahkan, sehingga anak semacam Sekar ini tidak terjerumus ke dalam hitamnya
dunia yang dilambangkan dengan hitamnya baju yang mereka kenakan.
Menyentuh...kok sama y..sy jg merasa prihatin dgn komunitas mereka..baguuss gaya bahasanya .
BalasHapusKita terbawa isi cerita..👍👍👍👏👏👏
Miris ya.
HapusSebagian generasi bangsa, berhabitat dan ditempa di perempatan lampu merah.... Lalu, tanggung jawab sispa mereka?
BalasHapusYang jelas kita sebagai guru bertanggung jawab atas anak yang dititipkan orang tua kepada kita
HapusKalau bertemu dengan mereka batin saya selalu berkata "semoga tidak ada murid-murid ku diantara mereka! ".
BalasHapusAamiin...
HapusKurangnya perhatian orangtua adalah salahsatu penyebab maraknya anak basis/ punk.
BalasHapusMungkin juga dari keluarga broken home
HapusAnak2 calon generasi penerus...miris
BalasHapusSemoga menjelma menjadi orang tua yang tangguh
Hapus