Jumat, 10 Desember 2021

Rindu yang Tergenggam


Gambar Hipwee


Nada dering dari hp membuyarkan konsentrasiku. Sejak pagi aku sudah berkutat dengan tumpukan kertas tugas di meja kerjaku. Dengan sedikit rasa enggan kuangkat hp dan terdengar suara dari seberang memohon aku untuk pulang karena ibu sakit dan ingin bertemu. Memang semenjak pandemi covid 19 mewabah aku belum pernah pulang kampung, biasanya aku pulang saat idul fitri atau liburan. Terhitung sudah dua kali idul fitri aku tidak pulang. Bukan aku tak rindu pada ibu dan kampung halaman, namun keadaan yang memaksaku untuk bertahan tidak pulang ke tanah kelahiran. Bergegas aku menghadap pimpinan untuk meminta cuti beberapa hari sebelum aturan PPKM diberlakukan kembali.


Perjalananku penuh dengan drama dan tetes airmata. Curah hujan yang deras menerpa kaca depan mobil sehingga menghalangi pandanganku. Jalan yang berlubang-lubang semakin menyulitkan. Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya aku berdoa memohon kemudahan dan kelancaran agar selamat sampai tujuan. Tak lupa kupanjatkan doa agar tak terjadi apa-apa dengan ibu. Aku belum siap kehilangan separuh jiwaku. Belum sanggup bila sebelah sayap kehidupanku yang tersisa patah kembali.  


Tiba di rumah aku bergegas masuk ke kamar ibu. Sekilas aku dengar adikku mengatakan bahwa ibu sakit karena menahan rindu bertemu denganku. Aku semakin menyadari ternyata wabah covid 19 tidak hanya berdampak pada segi ekonomi, pendidikan, dan sosial, namun juga segi psikologi. Di atas pembaringan kudapati sesosok wanita terbaring tak berdaya. Tubuhnya begitu kurus  tinggal tulang yang diselimuti kulit yang berkerut. Wajahnya kuyu dengan lekukan-lekukan tulang pipi yang terlihat begitu jelas. Dengan lembut kuusap kepalanya yang dihiasi rambut putih menyatu dengan sarung bantal yang juga berwarna putih. Kucium keningnya dengan airmata yang tak henti mengalir. Perlahan ibu membuka mata memandangku dengan tatapan berbinar kemudian tersenyum. Seketika wajahnya memancarkan sinar kebahagiaan. Kugenggam erat tangannya merasakan desiran-desiran yang perlahan mengalirkan kehangatan dari tubuh yang semula begitu dingin. Seakan mengurai kerinduan-kerinduan yang selama ini tergenggam dan tertahan. Kucium punggung tangan ibu sambil berkata, “ Ibu, maafkan anakmu.”


Pentigraf Rindu yang Tergenggam karya Hj. Vivi Trijatah Handayani (Guru SMPN 1 Gabuswetan)
5

5 komentar:

  1. Endingnya lebih dipertajam lagi, supaya lebih menggigit

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. Keren, Bu Vivi 👍🏻 hatiku jadi mengharu-biru. Meleleh, kata Kang Didno mah 😁

    BalasHapus
  4. Bicara tentang ibu selalu memicu detak jantung menahan rindu yang tak berkesudahan...
    Keren bu hj, bikin baper..

    BalasHapus