Pentigraf
Karya Umi Noor
Editing oleh Yoyon Supriyono
Pagi yang basah. Hujan deras sejak dini hari belum ada tanda-tanda akan mereda. Angin kencang sesekali menyapa diiringii nyanyian petir bersahutan. Pukul tujuh. Aku sudah berpakaian rapi, tapi rasanya malas sekali untuk berangkat kerja. Andai hari ini bukan pelaksanaan penilaian akhir semester, rasanya ingin kembali kucumbui dingin dalam selimut pagi.
Perang bathin di pagi itu segera kusudahi. Walau berat dan tidak enak hati, bersama Si Marun aku melaju di jalanan yang tidak begitu ramai. Hanya beberapa kendaraan yang ku temui. Hingga tiba di sekolah, kusapa dan kulempar senyum pada rekan guru yang tiba lebih awal. Udara masih terasa dingin, bahkan semakin dingin. Sedingin suasana hatiku.
Lonceng pagi berbunyi. Semua bergegas menuju ruang PAS sesuai jadwal. Semua murid berjuang melawan soal-soal yang terasa hots. Kecuali Samudera, putra Mas Rahman dan Mba Wati, tetanggaku yang kemarin pamitan ke Surabaya menengok orangtuanya yang sakit, nampak melamun. Pandangannya kosong menatap tetesan hujan melaui jendela. Saat hendak kuhampiri, hapeku berbunyi. Ternyata Mas Pram suamiku. "Mah, Mas Rahman dan Mba Wati kecelakaan di tol Madiun arah pulang. Mereka berdua meninggal di tempat kejadian." Suara Mas Pram terputus bersamaan dengan suara petir yang tiba-tiba. Aku mematung di pintu sambil menatap Samudera. Belum tetpikir bagaimana harus kusampaikan kabar ini padanya.
Sebuah tragedi yang tak dapat kulupakan..
BalasHapusWess permainan diksinya mantap, bikin makjleb di paragraf terakhir.... semakin asyik baca pentigrafnya Bu Noor.
BalasHapusTerima kasih bu, masih mengasah keberanian..
Hapusmenyedihkan, ya...
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
HapusInjih, terinspirasi dari kisah yang nyata yang penulis alami
HapusSiip..
BalasHapusMantap👍
BalasHapusTerima kasih..
Hapus