Sabtu, 18 Desember 2021

S a n k s i

             (Gambar : doc.ponpesbima)
Pentigraf
Oleh Ye-eS

Rasa rindu Aytun kepada anak semata wayangnya kian hari kian berat. Aura, selepas SD dikirimnya ke pondok pesantren untuk memperoleh pendidikan yang baik, terutama pendidikan agama. Ini memang pilihan terbaik untuk membekali anak baik ilmu agama atau bekal ilmu lainnya. Apalagi anak perempuan, tinggal dan menimba ilmu di lingkungan pondok pesantren lebih membuatnya terjaga, terutama dari pengaruh pergaulan zaman sekarang yang cenderung bebas. Walau demikian, yang dirasa berat bagi orangtua adalah rasa kangen dan rindu. Aturan pondok teramat ketat. Antara wali dan santri tidak diperbolehkan sering bertemu karena akan membuat santri
 tidak betah. 

Untuk menyiasati hal itu, pada suatu kesempatan penjengukan, Aytun menyelipkan sebuah handphone di tas Aura. Aura memahami maksud ibunya. Ia pun menyimpan rapih hpnya dan hanya sewaktu-waktu menggunakannya. Ini berjalan cukup efektif beberapa waktu. Suaminya, Paimin, sudah memperingatkan hal itu tidak baik dalam menanamkan disiplin dan kemandirian, selain hal ini dilarang oleh pihak ponpes.

Suatu pagi di hari Sabtu, Aytun dikejutkan dengan kiriman sebuah video dari pengasuh ponpes. Video itu berisi Aura yang sedang menghancurkan handphonenya dengan sebuah palu. Baru saja hendak menelpon pengasuh pondok, sebuah notice pesan berbunyi. "Putri anda terjaring razia handphone, dan sebagai sangsinya hp tersebut harus dihancurkan oleh tangan santri sendiri. Atau, hp dan santrinya dikembalikan ke orangtua." Terbayang cicilan yang masih panjang, sementara hpnya telah hancur oleh tangan putrinya sendiri. 
1

Rabu, 15 Desember 2021

Kaos Kaki Bolong

               Gambar: kisah inspiratif)

Pentigraf
Karya Ye-eS

Paimin memandangi kaos kaki bolongnya yang teronggok di ember cucian. Sayang kalau dibuang, pikirnya. Sayang juga klo harus keluar uang buat beli yang baru. Gak seberapa sih. Tapi bagi anak kuliahan yang hidup merantau, tentu sangat berharga. Apalagi dompet sedang menipis dan uang kiriman sudah mau habis. Toh masih bisa dipakai dan tidak mungkin kelihatan bolongnya. 

Walau selapuk apapun, Paimin takkan membuang kaos kaki itu. Dengan memandangnya saja, sudah bisa menjadi pengobat rindu pada pemberinya. Aytun, seorang gadis mahasiswa seni yang kini rajin ia kencani. Weekend nanti juga sudah ada janji. Walau Paimin masih bingung, mau kemana malming nanti. Mau diajak ke kafe, khawatir isi dompet gak nyampe. Maklum si doi suka banyak maunya.

Sabtu pagi Paimin tak sengaja ketemu Aytun di acara kampus. Di tengah acara, ada selingan doorprize bagi pengunjung yang beruntung. Pengunjung dipanggil secara acak dengan syarat tertentu yang kadang aneh-aneh. Mulanya Paimin tak tertarik. Tapi saat pemandu acara memanggil pengunjung yang memakai kaos kaki bolong, ia langsung berdiri untuk menuju ke panggung. Aytun menarik lengan Paimin. "Ngapain, Mas, malu ah!" Paimin hanya tersenyum tak menghiraukan. Tepuk tangan meriah hadirin menggema saat Paimin membuka sepatu dan menunjukkan kaos kaki bolongnya.  Paimin melenggang dengan hadiah dua tiket gratis ke Malibu. Kencannya malam Minggu nanti akan berkelas. 
1

Selasa, 14 Desember 2021

J a t u h

 
Pentigraf

Yoyon Supriyono

Baru kali ini Paimin berada di ketinggian. Ia terus mendaki tebing terjal berbatu. Tangannya menggapai mencari pegangan. Kakinya harus tepat menapak pijakan. Tenaganya ia kumpulkan untuk mengangkat tubuhnya. Jarinya cepat berpindah pegangan. Mencengkeram kuat tonjolan batu di badan tebing. Sekali terlepas ia akan disambut dasar jurang yang menganga. 

Nyalinya hampir saja hilang. Namun suara sayup-sayup memanggil namanya kembali menguatkan tekadnya. Aytun dalam bahaya. Entah bagaimana komplotan pemuda berandal itu sampai bisa ke puncak tebing membawa tambatan hatinya. Paimin yakin kedatangannya tak diketahui. Sudah tak sabar ia ingin menghajar komplotan itu dengan jurus silat yang dipelajarinya di padepokan.

Sesekali ia menoleh ke bawah. Begitu curam. Ia menatap sekeliling. Tiba-tiba angin bertiup begitu kencang. Suaranya bergemuruh. Awan yang berarak tergerak menuju ke arahnya. Jantungnya berdegup kencang. Hatinya menciut, menahan terpaan angin yang kian kencang. Pertahanannya melemah. Tempat pijakannya tiba-tiba merapuh. Bebatuan yang keras itu pun bergetar dan menghancur. Dalam terpejam ia terlepas. Tubuhnya melayang-layang hingga ke bawah. Gubrak. "Kamu ini apa-apaan Mas,... Tidur siang aja jatuh dari kasur," Aytun terkekeh mendapati suaminya terjatuh dari tempat tidur.
1

Kutitip Cinta Pada Pemilik Cinta

                        (Gambar : Iqra.com)
Pentigraf
Karya Umi Noor

       
       Lantai 2 Flamboyan 212 begitu lengang. Sesekali cahaya kilat merasuk lewat kaca jendela yang bercadar kain menjuntai. Langit malam belum lelah menebar gerimis. Seperti kelopak mataku yang tak mampu membendung tangis. Kupeluk Mas Pras yang terbaring lemah diatas tempat tidur. Selang infus yang menempel ditangannya sedikit menghalangi pelukanku. Tubuh Mas Pras menggigil dan sesekali bergerak-gerak. Matanya terpejam kuat seperti menahan rasa sakit yang teramat sangat. 
      Kudekatkan bibirku ke telinganya. Kubisikkan kalimat-kalimat toyibah. Kutuntun Mas Pras agar mengikuti ucapanku. Sesekali bibirnya bergerak-gerak, seprti menirukan ucapanku. Kepegang erat telapak tangannya. Ingin rasanya kuberikan seluruh kekuatanku padanya. Kucium pipinya dengan tetap kubisikan kalimat toyibah. Namun tiba-tiba dari mulutnya keluar busa putih, reflek aku mundur menjauhkan wajahku dari wajahnya. Aku beristighfar. Kuambil tisu lalu kulap mulutnya. Tapi busa masih terus keluar bahkan dari telinga juga. Mbak Yani yang menemaniku, segera keluar dan kembali bersama seorang dokter dan beberapa perawat. 
      Perasaanku jadi tak menentu. Rasa takut dan hawatir bercampur dengan isak tangis yang tak dapat kubendung. Aku takut kehilangan Mas Pras. Aku belum siap berpisah dengannya. Ketakutanku semakin menjadi ketika tubuh Mas Pras tiba-tiba mengejang. Matanya terbuka bersamaan dengan tarikan napasnya yang begitu panjang. Lalu perlahan terpejam seiring nafasnya yang kian menurun. Kupanggil namanya sambil kugoyang-goyang tubuhnya. Dokter dan perawat segera melakukan tindakan. Pacu jantung dihentakkan beberapa kali. Namun Mas Pras tetap terkulai diam. Dokter menatapku sambil menggelengkan kepala memberi isyarat. Seiring suara dari monitor berbunyi panjang dan garis spiral kian melurus datar. Mas Pras nampak seperti tertidur lelap, raut wajahnya tenang tanpa menahan rasa sakit lagi. Aku baru merasakan keanehan. Kupanggil suamiku berkali-kali sambil kupeluk erat. Kuciumi keningnya dengan tangis yang yang tak dapat kubendung. "Innalillahi wa innalillahi rojiun" Ucapan Mba Yani samar kudengar. Semuanya menjadi gelap.
4

Senin, 13 Desember 2021

L e l a h

Puisi
Karya  Umi Noor

Kucumbui debu dan kerikil sepanjang jalan ini
Aku tersungkur dalam curamnya jurang yang kian menganga
Terhempas dalam suka dusta
Terperangkap dalam bahagia fatamorgana

Gersangnya jiwa tertawan dalam nafsu durjana
Anggur yang kuteguk, tapi dahagia kian merajalela
Jiwa meronta dalam sesat yang nyata
Terseok, merangkak dan merayap dalam gulita mencari secercah cahaya.. 

Aku mati rasa, hilang jiwa, naluri tak berarti
Cinta hanya dusta yang berganti benci
Waktu tak memberikanku  bukti
Yang aku ingin,  semua harus kuakhiri
2

Jumat, 10 Desember 2021

Memeluk Rembulan

                  (Gambar : Impian Istikmalia)
Pentigraf
Karya Umi Noor

       Senja kian temaram. Hujan sore tadi menyisakan dingin yang menusuk tulang. Suara adzan maghrib baru selesai berkumandang.Terdengar senandung shalawat dan pujian dari beberapa mesjid dan musholla. Jalanan nampak lengang, hanya sesekali kendaraan berlalu lalang. Seorang pemuda berpostur tubuh atletis, berjaket dan berhelm hitam menutupi seluruh wajah dengan kecepatan sedang masih memacu ninjanya di jalanan. Dialah Rama, pemuda yang sopan, baik hati dan mandiri. Karena pekerjaanya, dia kost di luar kota. Dia biasanya pulang saat akhir pekan.     
         Kamis sore, kerinduan pada ibunya tak tertahankan. Ibu sepuh yang sendirian di rumah. Ayahnya meninggal tiga tahun yang lalu. Kedua kakak perempuannya ikut bersama suaminya. Selain itu, ada rindu yang membelenggu hati dan pikirannya. Rindu pada tambatan hati sejak SMA dulu. Sudah lama tak berkabar. Saat dihubungi, nomor ponselnyapun tidak aktif. Memang Rama belum pernah menyatakan perasaannya pada gadis itu. Tapi bagi Rama, perhatian dan keakrabannya selama ini sudah lebih dari cukup sebagai isyarat cinta padanya. 
       Sampai di rumah, Rama mendapati ibunya sedang berdzikir di kamar. Ia bergegas ambil wudhu lalu shalat maghrib. Ibunya masih berdoa ketika ia usai sholat. Rama menyandarkan tubuhnya pada sofa di ruang keluarga. Saat hendak mengambil remot TV di atas meja, matanya tertuju pada secarik kertas undangan yang terlihat indah. Tangannya  perlahan hendak membuka plastik sampul undangan itu ketika ibunya tiba-tiba muncul dari kamar. "Itu undangan dari Sinta, lusa dia akan menikah." Suara ibunya yang lembut terasa bagai petir yang menyambar. Selama ini ia ternyata hanya memeluk bulan, batinnya.
1

Rindu yang Tergenggam


Gambar Hipwee


Nada dering dari hp membuyarkan konsentrasiku. Sejak pagi aku sudah berkutat dengan tumpukan kertas tugas di meja kerjaku. Dengan sedikit rasa enggan kuangkat hp dan terdengar suara dari seberang memohon aku untuk pulang karena ibu sakit dan ingin bertemu. Memang semenjak pandemi covid 19 mewabah aku belum pernah pulang kampung, biasanya aku pulang saat idul fitri atau liburan. Terhitung sudah dua kali idul fitri aku tidak pulang. Bukan aku tak rindu pada ibu dan kampung halaman, namun keadaan yang memaksaku untuk bertahan tidak pulang ke tanah kelahiran. Bergegas aku menghadap pimpinan untuk meminta cuti beberapa hari sebelum aturan PPKM diberlakukan kembali.

5

Kamis, 09 Desember 2021

Penumpang Pertama

Pentigraf
Karya Yoyon Supriyono

Menjadi ojek online awalnya hanya iseng. Ketimbang nganggur dan ada sepeda motor yang juga nganggur. Daftarnya cukup mudah. Yang penting punya android, lalu download aplikasinya, daftar, beres. Selanjutnya tinggal standby dan mengikuti perintah aplikasi. 

Usai hujan mereda sore itu aku mulai beraksi. Cuaca dingin menuntunku untuk mangkal di warung angkringan. Bandrek hangat  dan  nasi kucing sambal teri menu yang pas sambil nongki. Sebuah notif tiba-tiba muncul. Penumpang pertama dan penglaris, pikirku. Namanya Wulan. Cantik dan berhijab. Ia menunggu di gang Melati, tak jauh dari posisiku. Tujuannya ke Gegesik. Lumayan jauh. Ia sudah deal dengan tarif 46 ribu. Lumayan mahal dari biasanya yang cuma 30 ribu. Mungkin karena malam dan habis hujan. 
Vario hitamku segera meluncur ke gang Melati. Karena tak kulihat ada orang, aku bermaksud ngechat dia. "Ayo Kang, jalan. Tadi habis ke toilet dulu." Wulan tiba-tiba muncul dari arah belakang dan langsung naik. Benar. Cantik dan berhijab. Walau tak begitu jelas karena ia menunduk dan cahaya lampu yang temaram. 

Rute terus menuntun kami hingga melintasi pesawahan. Di tepi jalan terlihat ada sosok perempuan yang nampak menunggu tumpangan. Dalam cahaya lampu motor terlihat persis sama seperti Wulan, penumpangku. Kuhentikan varioku dan kutengok kebelakang. Aku terkejut karena tak ada siapa-siapa di belakangku. Saat kulihat lagi, perempuan yang seperti Wulan tadi sudah tak ada. Bersamaan dengan itu terdengar suara kikikan dari rimbunan pohon. Sontak bulu kudukku berdiri. Segera kutancap gas. Jalanan licin membuat laju motor tak terkendali. Sebuah gundukan tanah menjadi tempat perhentian terakhir. Gubrak. Aku sudah tak ingat lagi dimana kuberada.
1

Gara-gara Daring

Pentigraf
Karya  Yayah Kurniyah
Editing oleh Yoyon Supriyono

"Hadeuh, repot amat punya istri banyak. Saya harus dapat mengatur, kemarin harus stay di mana, hari ini harus stay di mana, besok harus di mana, lusa harus di mana. Bahkan pagi harus di mana, siang harus di mana, sore harus di mana, malam harus di mana. Semua harus kukunjungi secara adil dan proporsional. Kadang pusing dan kewalahan. Tapi, ya  harus bagaimana lagi sudah takdirku harus begini," gerutu lelaki setengah baya dalam kesendirian. Tak heran jika hidupnya dihabiskan dalam kamar. Kadang makan pun terabaikan. Sering telat. Pinggang sudah sering terasa panas dan pegal. Akhir-akhir ini panas-pegalnya mulai menjalar ke punggung.
1

Rabu, 08 Desember 2021

Petir di Siang Bolong

.                 (Gambar : SubPNG)
Pentigraf
Karya Umi Noor
Editing oleh Yoyon Supriyono

       Pagi yang basah. Hujan deras sejak dini hari belum ada tanda-tanda akan mereda. Angin kencang sesekali menyapa diiringii nyanyian petir bersahutan. Pukul tujuh. Aku sudah berpakaian rapi, tapi rasanya malas sekali untuk berangkat kerja. Andai hari ini bukan pelaksanaan penilaian akhir semester, rasanya ingin kembali kucumbui dingin dalam selimut pagi. 
       Perang bathin di pagi itu segera kusudahi. Walau berat dan tidak enak hati, bersama Si Marun aku melaju di jalanan yang tidak begitu ramai. Hanya beberapa kendaraan yang ku temui. Hingga tiba di sekolah, kusapa dan kulempar senyum pada rekan guru yang tiba lebih awal. Udara masih terasa dingin, bahkan semakin dingin. Sedingin suasana hatiku.
       Lonceng pagi berbunyi. Semua bergegas menuju ruang PAS sesuai jadwal. Semua murid berjuang melawan soal-soal yang terasa hots. Kecuali Samudera, putra Mas Rahman dan Mba Wati, tetanggaku yang kemarin pamitan ke Surabaya menengok orangtuanya yang sakit, nampak melamun. Pandangannya kosong menatap tetesan hujan melaui jendela. Saat hendak kuhampiri, hapeku berbunyi. Ternyata Mas Pram suamiku. "Mah, Mas Rahman dan Mba Wati kecelakaan di tol Madiun arah pulang. Mereka berdua meninggal di tempat kejadian." Suara Mas Pram terputus bersamaan dengan suara petir yang tiba-tiba. Aku mematung di pintu sambil menatap Samudera. Belum tetpikir bagaimana harus kusampaikan kabar ini padanya.
9

Menuntun Istri

           (Gambar : DocPlayer.info)
Pentigraf
Karya Mardiani

Kakang dan Ceuceu merasa  takjub saat mereka tiba di Masjidil Haram mendapati begitu banyak orang dari berbagai macam ras dan suku bangsa. Tentu saja jemaah  haji atau umrah datang dari berbagai negara bahkan benua dengan fisik yang berbeda, cara mereka berpakaian, berbicara, berjalan, bahkan beribadahpun berbeda-beda. 

Saat Kakang dan Ceuceu hendak thawaf mengelilingi ka’bah, mereka berpapasan dengan sekelompok orang berkulit hitam tinggi besar berjubah warna terang, kemungkinan orang  Nigeria. Ceueceu memegang erat lengan suaminya, ia takut terseret oleh rombongan mereka dan terlepas dari genggaman suaminya. Tiba-tiba salah seorang  wanita Nigeria berjubah  oranye  menyenggol Ceuceu, sontak Kakang merengkuh bahu istrinya agar tidak oleng. Ia berbisik pada istrinya, “Kalau aku disuruh beristrikan wanita Nigeria, diberi imbalan sebesar apapun aku gak mau." Ceuceu hanya menggelengkan  kepala dan meletakkan telunjuk  di bibirnya untuk menghentikan ucapan suaminya.

Tujuh putaran mengelilingi Ka’bah mereka lalui.  Segera mereka mengambil jalur lingkaran  terluar dan hendak menuju kran air zam-zam untuk melepas dahaga. Betapa kagetnya Kakang saat menoleh ke belakang ternyata bukan istrinya yang dituntun tapi wanita Nigeria berkulit hitam berjubah oranye. Sontak ia melepaskan genggaman  tanganya. Ternyata istrinya  tertinggal  di belakang wanita Nigeria tersebut. Dengan tersenyum kecut  Ceuceu berkata, “Makanya, jangan asal ngomong, istghfar…istighfar, Mas!”
2

Mang Sanudin

           (gambar: detikNews)
Pentigraf
Karya @Lilis Yuningsih

Markonah sedang mengikuti salah satu agenda siswa di sekolahnya, program Bintal yang dilaksanakan setiap hari Jum’at. Siswa kelas VIIb sedang bertugas. Dia melihat Mang Sanudin  menggendong anak lelaki bungsunya yang berusia kurang lebih tiga tahun. Nampaknya sedang memulai menggarap sawah yang terletak di belakang sekolah. Mang Sanudin adalah tetangga dekat rumah kontrakannya di dusun tempat dia bertugas sebagai kepala sekolah. 

Suatu sore Markonah mengunjungi rumah tetangganya itu, setelah lama isoman di rumahnya karena terpapar Covid-19. Dia punya sedikit kueh untuk anak mereka. Dia memanggil-manggil yayu Ipah, istri mang Sanudin. Diapun menerobos masuk, kebetulan pintu tidak dikunci. Markonah memang sudah menganggap keluarga mang Sanudin seperti kerabatnya sendiri, setelah hampir tiga tahun mereka bertetangga. Mang Sanudin sedang mengayun anaknya dalam ayunan dari kain yang digantung di tengah rumah. Dengan mengendap dan sedikit berbisik khawatir membangunkan si kecil. Markonah menanyakan keberadaan yayu Ipah. Menurut mang Sanudin, istrinya pergi kerja ke Arab. Tanpa disadari mata Markonah berkaca-kaca, mengingat si kecil pasti masih sangat membutuhkan ibunya. Mang Sanudin, berusaha menjelaskan, bahwa dulu anak pertamanya, juga ditinggal ibunya ke Arab saat usianya dua tahun, seperti anaknya yang nomor dua ini. Markonah pun bergegas pergi setelah memberikan kueh.


Sore ini dia ingin memberi anak mang Sanudin, nasi kotak kiriman tetangga sebelah yang sedang syukuran. Entah kenapa dia kok mendapat jatah dua.. Namun rumah Mang Sanudin kosong, padahal hari sudah hampir magribh. Menurut tetangganya, mang Sanudin masih di sawah, menyewakan traktornya. Markonah menitipkan nasi kotak tadi ke tetangganya itu. Sambil berjalan pulang menuju rumah, air matanya tak terbendung. Banyak pertanyaan berkecamuk dalam benaknya, diantaranya:”Ada berapa balita di negeri ini bernasib serupa anaknya mang Sanudin?”

Lelea, awal Desember 2021.
2

Lala


Pentigraf
Karya Aat Sumiati
Editing oleh Yoyon Supriyono

Lala. Begitu panggilan anak perempuan berusia empat tahun itu. Wajahnya cantik dengan rambut ikal pendek dan pipi cubby. Kulitnya coklat sawo matang, khas anak nelayan yang akrab dengan pantai. Dia aktif dan periang. Berbeda sekali ketika usianya belum genap setahun. Saat itu ia mengidap sakit jantung bawaan. 

Beruntung, Rumah Sakit Harapan Kita telah memenuhi doa dan harapan orang tuanya. Paska tindakan operasi pemasangan balon pada jantungnya, Lala tumbuh normal seperti anak seusianya. Dia sehat, riang, pintar dan lincah. Gerakannya sungguh gesit. 

Saat ini Lala lagi gandrung bersepeda. Sebuah sepeda mini hadiah ultah, menjadi teman setianya sehari-hari. Merasa sudah mahir, ia minta ayahnya melepas roda penyangga, seperti teman-temannya. Awalnya masih oleng, tapi Lala terus mencoba hingga lancar. Beramai-ramai Lala bersepeda dengan teman-temannya. Full semangat, Lala mengayuh sepeda dengan kencang memimpin di depan. Saat hendak berhenti ia mendadak menarik rem. Namun karena lajunya terlalu kencang, sepeda Lala oleng dan terjun ke selokan. Teman-temannya berhenti dan tawa berirama koor pun meledak. Lala segera bangun lalu meraih sepedanya. Melihat tawa teman-temannya, Lala pun ikut terbahak-bahak. Pakaian basah kuyup dan berlumpur tak dihiraukannya. Beruntung dia tidak apa-apa, malah tertawa gembira. Ini pengalaman pertamanya jatuh dari sepeda.
1

Bocor Pentigraf Karya H. Warnita Dewanata

Bocor (Gambar arafuru.com)

Setiap anak memiliki pengalaman masa kecil yang terkadang dilupakannya, kemudian dapat diceritakan kembali oleh orang tuanya agar anak tersebut bisa bercerita dimasa lalunya. Dalam sebuah keluarga terdapat tiga anak dan kedua orang tuanya. Anak tersebut semuanya laki-laki dan masih balita, setelah seharian penuh bermain ketiga anak itu mandi pada sore hari menjelang maghrib dan bersiap ke musholla untuk membiasakan diri belajar mengaji agar harapan orang tuanya kelak menjadi anak yang soleh. 

1

Wajah Datar


Pentigraf 
Karya Mardiani

Udara London  terasa dingin meskipun sudah memasuki musim panas. Kami berempat  menunggu bis di  halte sekitar Almey Road. Tidak lama bis tingkat merah khas London alias  Doble decker merapat di halte. Bis 102 dengan tujuan akhir Golden Green ini akan mengantarkan kami  ke  Mesjid Raya London. 

Pintu bis terbuka,  tamapak seorang pria berkulit hitam duduk dibelakang kemudi. Wajahnya datar tidak mmemberikan ekspresi apa-apa. Satu persatu dari kami segera naik ke dalam bis dengan menempelken kartu oyster sebagai alat pembayaran non tunai ke kotak sensor yang ada di dekat  dasbor bis. Namun  saat oysterku ditempelkan, sensornya tidak merespon. Ternyata saldo pulsa di kartuku tidak mencukupi. Lalu aku mencoba menggunakan kartu cadangan. Masih tidak merespon. Aku jadi bingung dan panik. Sementara disekitar sini tidak ada toko yang menyediakan isi ulang kartu Oyster.  Lalu pengemudi bis menyarankan kami untuk menggunakan kartu kredit atau kartu debit. Aku mencoba beberapa kartu yang kami miliki, namun sepertinya tidak ada yang support. 

Aku benar-benar bingung, transportasi disini tidak ada yang menggunakan uang tunai. Kami manatap sang pengemudi berharp ia mengijinkan aku naik. Masih dengan wajah datar si penegmudi  menatap kami sejenak, “ Okey, take your seat.” katanya. Hatiku girang tiada terperi. Kuucapkan terim kasih tak terhingga padanya. Ia hanya mengangguk masih dengan ekspresi datar.
0

Bu Linda

Pentigraf
Karya Wiwit Widiyanti

Letak kelas 4 berada di lantai dua. Setelah menaiki tangga, berbelok ke arah kanan. Ruang kelas tersebut terletak di paling sudut kanan. Sebelum memasukinya, masing-masing siswa melewati lorong yang sedikit tertimpa cahaya. Agak gelap memang, karena sinar mentari terhalang oleh rak pajangan piala. Ada rasa yang tidak biasa setiap melewati lorong tersebut. Rasanya ingin mempercepat langkah melewati lorong, supaya segera sampai di dalam kelas.


Bu Linda wali kelas 4, telah duduk dengan wajah tertunduk di meja guru menunggu kehadiran siswa siswinya. Setiap siswa yang datang, langsung menuju tempat duduknya dan mengobrol dengan teman-temannya. Tak lama kemudian, bel berbunyi menandakan waktu mulai belajar telah tiba. KM segera menyiapkan kelas untuk memimpin berdoa dan mengaji. Bu Linda tetap duduk di mejanya dan tak banyak bicara. Dia hanya menatap siswanya sesaat dengan tatapan kosong. Wajahnya yang ayu dan putih, terlihat lebih pucat.

Selesai siswanya mengaji, tanpa berbicara sepatah katapun bu Linda keluar dari kelas. Anak-anak saling berbisik hingga terdengar ketukan halus dari balik pintu. Kepala Sekolah mengabarkan bahwa Bu Linda mengalami pendarahan hebat dan meninggal dunia beserta bayi yang dikandungnya. Seorang siswa bertanya, "Pak, siapa yang duduk di meja guru tadi?". Semua membisu, hanya aroma melati menyeruak ke ruangan kelas.
3

Senin, 06 Desember 2021

Yang tertinggal di sudut Paris

Pentigraf
Ide karya : Umi Noor
Editor : Yoyon supriyono


Pantai sumur Tiris (Paris) menjadi obyek wisata yang lagi viral saat ini. Sering kutemukan viewnya dicumbui pecandu Selfi terpajang pada dinding medsos. Aku yang warganet pemula, jadi penasaran dibuatnya. Bersama teman-teman grup alumni UT , pada Minggu pagi di akhir November, kami bermotor ria kesana. Walau sedikit mendung di awal pagi, tidak menghalangi kami untuk berangkat. 

Perjalanan dari kota ke lokasi lumayan jauh. Aku putuskan untuk mengendarai N-Max, penghuni baru di garasi keluarga kami. Motor berpostur bohai ini cocok dengan bodiku. Selain itu, aku belum mencobanya untuk jarak yang agak jauh. Awalnya jalanan begitu mulus. Namun ketika berbelok ke perkampungan, medan jalannya banyak berlubang. Ditambah lagi hujan yang turun semalam menyisakan genangan air. Aku harus extra hati-hati. Jika tidak, baju dan sepatu baruku yang kelonggaran ini tentu akan bersimbah cipratan air kotor. 

Selesai menembus perkampungan, kami dihadapkan pada medan yang lebih ekstrim. Jalan tanggul sempit dan licin dengan bentangan empang di kanan kiri, membuat down nyaliku. Aku berhenti untuk mengumpulkan keberanian yang sempat terserak. Walau sudah tertinggal jauh, bayangan Paris mendongkrak semangatku. Si bohai kembali meluncur perlahan. Rasa tegang berpadu semangat membuat suasana hatiku bak permen nano nano. Rasa itu juga membuatku mati rasa. Sampai di lokasi aku disambut tepuk tangan oleh rombongan yang telah tiba duluan. Tidak hanya tepuk tangan, tawa yang tak henti dan tatapan mata ke bawah kakiku membuatku curiga. Aku terkejut mendapati kakiku blepotan tak bersepatu. Parahnya lagi sebelah telapak kakiku sudah tak berkaos kaki. Aku baru sadar semua itu yang membuat mereka tertawa. Entah terbenam dimana sepatu baruku. Juga sebelah kaos kakiku. Tapi semua terbayar oleh keindahan view pantai dan menara Eiffel tiruan yang nampak tertawa sinis memandangku. 
2

Minggu, 05 Desember 2021

Kuah Air Mata, Pentigraf Karya Bapak Darsa

Air mata (Dok. Klikdokter)

Pentigraf Kuah Air Mata Karya Darsa, S. Pd. SD dari UPTD SDN 3 Pengauban Lelea Indramayu 



Selesai sholat Maghrib, aku merasa lapar. Aku melangkah menuju dapur. Di dapur cuma ada nasi, tidak ada lauk dan sayur. Sambal pun tidak ada. Aku ambil sepiring nasi dan sedikit garam. Aku taburkan garam di atas nasi dan dicampur biar ada sedikit rasa. 

1

Kamis, 02 Desember 2021

Cerpen "Sekar Si Anak Basis"

 

SEKAR SI ANAK BASIS

Sumber : pantauterkiniwajo.blogspot.com


Fajar nan indah. Saat mentari berdendang hangat. Cakrawala menghamparkan biru melebar. Andai hati insan dapat memandang. Betapa pagi dimulai tak bersarat. Andai sebentuk kedamaian mulai tergambar.

Fajar itu kulalui jalanan kota sendiri. Jalanan yang berhiaskan pepohonan rindang nan meranggas. Jalanan kota menghadirkan sejuta asa. Sunyi masih terasa memulai hari. Dengan sedan tua kuawali pagi.

“Ku yang dulu bukanlah yang sekarang. Dulu di tendang sekarang ku di sayang …,” sayup ku dengar suara lembut di bawah lampu merah. Diiringi tepukan tangannya sebagai pengiring lagu, ku lihat sesosok gadis lusuh menyanyikan lagu yang pernah dipopulerkan Tegar sang pengamen cilik jalanan.

            Di balut kaos hitam, celana jeans sobek di bagian lututnya, yang juga berwarna hitam, dan sepatu lusuh hitam. Sehitam kehidupannya di jalanan. Memang belakangan ini mulai marak remaja yang berpenampilan sepertinya. Mereka menyebut dirinya anak punk.

Sekilas terpancar seberkas wajahnya yang manis. Wajah manisnya tidak bisa tertutupi lusuhnya busana yang dikenakannya. Berbeda dengan anak punk lainnya yang relatif terlihat kotor, lusuh dan kumal. Jika dilihat dari raut wajahnya, dia bukanlah bagian dari mereka. Tapi kenyataannya, gadis itu, pagi buta berada di lampu merah, apalagi kalau bukan bagian dari anak punk.

Ah, andai kehidupanya semanis wajahnya. Atau ini bukan akhir episode kehidupanya,” gumamku dalam hati, sambil terus memperhatikan gerak geriknya. Dari dua pengendara motor yang dihampirinya, tak ada satu pun yang memberinya uang.

“Hidupku dulunya seorang pengamen, pulang malam selalu bawa uang recehan …,” sekarang suara itu terdengar sangat jelas. Tepat di samping pintu mobil sedan yang kutumpangi, gadis itu melanjutkan nyanyiannya, masih dengan tepukan ringan tangannya sebagai pengiring lagu.

“Mau ikut jalan-jalan?” Tanyaku sambil memberikan uang receh seribuan. Tak di sangka, gadis lusuh itu langsung membuka pintu mobil belakang dan langsung duduk di jok belakang. Aku sedikit terkejut, karena tak menyangka, basa-basi ku disambutnya dengan semangat. Tak banyak yang kutanyakan, mobil langsung kujalankan bertepatan dengan pergantian lampu merah ke lampu hijau.

Sambil ku jalankan mobil dengan perlahan, kutatap wajah gadis di belakangku melalui  cermin mobil di atas dashboard. Terlihat wajah gelisah terpancar di raut wajahnya. Entah apa yang dipikirkannya. Tatapan wajahnya terlihat kosong, seolah memandang pepohonan dari kaca pintu mobil.

“Nama kamu siapa?” tanyaku, memecah kebisuan sambil terus menjalankan mobil tanpa memikirkan kemana akan kubawa mobil dan penumpang di belakangku.

“Sekar,” jawabnya datar sambil terus menatap ke luar. Wajahnya terlihat sedikit berubah, tidak lagi terlihat raut wajah gelisah. Mungkin karena pertanyaanku yang membuatnya berubah. Tatapannya sudah mulai tenang. Sesekali terdengar helaan nafas panjangnya, mungkin itu cara dia menenangkan hatinya.

“Sekar…, kamu tidak takut?” Tanyaku lagi mencoba lebih akrab, untuk lebih menenangkan kegelisahan hatinya. Dan benar saja, sekilas kulihat gadis yang ternyata bernama Sekar itu, menoleh ke arah cermin dan sudah berani menatapku melalui cermin di atas dashboard.

“Takut…,” jawabnya, sambil tertawa kecil menandakan hatinya benar-benar sudah tenang. Atau mencoba untuk menenangkan diri.

“Om mau menculik aku? Terus perkosa aku?” jawabnya sambil tersenyum manis. Ya, senyumnya memang manis. Gadis ini sepertinya seumuran dengan Salma anakku. Betapa sedih hatiku, jika Salma anakku berada di posisi dia. Aku juga bisa membayangkan, betapa sedih hati orang tuanya, jika mengetahui keberadaan anak gadisnya. Setidaknya itu yang terlintas di pikiranku.

Ah, sayang sekali kalau gadis manis ini harus hidup di jalanan.” Pikirku sambil terus menginjak gas mobil dengan lembut tanpa tahu arah yang akan dituju. Memang pagi itu aku hanya berniat untuk jalan-jalan menikmati indahnya kota dan segarnya udara pagi.

“Andai yang kamu fikirkan benar adanya, apa yang kamu lakukan?” Tanyaku menyambung pembicaraan yang sempat terhenti sesaat, sambil melirik ke arah cermin di atas dashboard . Sekilas kulihat dia duduk santai sambil memainkan ponsel-nya, seolah sudah bisa menguasai kegelisahannya.

“Ha ha ha…,” tiba-tiba terdengar tawanya yang begitu lepas, seolah tak ada beban atau ketakutan sedikitpun. “Jadi bener, Om mau menculik aku, terus memperkosa aku? Aku ko ga percaya ya!” Jawabnya dengan tenang, bahkan seolah mengajak bercanda. Ada kecerdasan yang tersirat dari jawabanya.

“Kamu anak punk? Tanyaku lagi yang mulai terbiasa dengan gadis ini.

“Bukan, Om…,” jawabnya santai sambil sesekali memainkan ponselnya. Entah sedang berkomunikasi dengan siapa. Atau mungkin hanya iseng untuk menghilangkan kekakuan.

“Lalu kenapa kamu memakai pakaian seperti itu?” Tanyaku lagi yang mulai penasaran.

“Begini, Om, tadi malam ada konser Viera di alun-alun, karena aku nge-fans sama Viera, makanya aku datang. Aku berangkat kemarin sore bersama teman-teman, numpang mobil bak. Selesai konser, kami kemalaman, akhirnya tidur di masjid. Saat aku bangun, aku kehilangan teman-temanku, aku ga bisa pulang, makanya aku ngamen buat ongkos naik elf. Begitu ceritanya, Om.” Akhirnya Sekar menceritakan semua pengalamanya dengan penuh percaya diri, seolah dia sudah percaya denganku.

“Syukurlah kalau kamu bukan anak punk. Om kasihan kalau gadis secantik kamu hidup tidak karuan di jalan. Tidak punya masa depan, dan hanya jadi sampah masyarakat-“

“Om kaya guru aku ya, cerewet.” Tiba-tiba Sekar menimpali perkataanku yang belum selesai. Sejenak aku hentikan perkataanku. Aku sedikit terkejut dengan ucapannya. Mungkin dia bosan dengan petuah yang sama, yang dilontarkan oleh orang-orang yang peduli kepadanya.

“O, ya, sekarang banyak anak-anak seperti kamu yang suka memberhentikan mobil bak di jalan. Kalau anak seperti itu namanya kelompok apa?” tanyaku mengalihkan pembicaraan, selain memang ingin tahu perbedaan anak punk dengan anak seperti Sekar.

“Kalau yang suka menghentikan mobil seperti aku disebutnya Basis, Om.” Jawabnya sambil matanya menyapu keluar, seolah mencari sesuatu.

Basis itu apa?” tanyaku penasaran.

“Kata orang, Basis itu singkatan dari Barisan Anak Setan,” jawabnya ringan, sambil lagi-lagi memainkan ponsel-nya.

“Hah! serem juga ya! Kamu mau dibilang anak setan?” Tanyaku yang memang sedikit terkejut setelah mengetahui kepanjangan dari Basis, sebutan untuk anak sepertinya.

“Ga papa lah, Om, lagian cuma sebutan ini. Yang penting kitanya ga seperti setan.” Jawabnya ringan sambil lagi-lagi melihat ponsel-nya. Terlintas kedewasaan dari jawabannya. Paling tidak dia bisa menempatkan sebutan setan dengan tidak diterapkanya dalam pergaulan.

“Ya! Tunggu! Bentar lagi aku sampai.” Sekar berbicara lewat ponsel-nya, entah dengan siapa. “Om, berhenti Om! Itu di depan ada temen-temen aku.” Tiba-tiba Sekar meminta untuk berhenti di pertigaan jalan. Tanpa pikir panjang, aku pun mengarahkan sedan tuaku ke pinggir jalan dan berhenti untuk menurunkan Sekar si anak Basis.

Ternyata sedari tadi dia berkomunikasi dengan temannya. Dengan sigap Sekar pun membuka pintu mobil sambil mengucapkan terima kasih. Menandakan dia bukanlah anak urakan seperti yang tergambar dari busana yang dikenakannya.

Sesaat diapun berlari kecil menuju kerumunan remaja sepertinya yang berusaha memberhentikan setiap mobil bak yang melintas. Sesekali Sekar melempar senyum manisnya ke arahku.

Terlintas di pikiranku, salahkah jalan yang ditempuhnya. Sementara di jalanan inilah mereka ditempa, betapa kerasnya dunia. Yang pada akhirnya mereka akan kebal terhadap masalah yang dihadapinya di masa datang. Mungkin bimbingan orang tua yang bisa mengarahkan, sehingga anak semacam Sekar ini tidak terjerumus ke dalam hitamnya dunia yang dilambangkan dengan hitamnya baju yang mereka kenakan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

10

PARIS




Pentigraf
Oleh  Yoyon Supriyono

Naik jabatan pasti hal yang didamba banyak orang. Termasuk pendamping hidup alias sang istri. Tentu hal itu akan menambah prestise dalam pergaulan sosialnya. Bagi sebagian orang, boleh diibaratkan naik kelas sosial. Imbasnya akan berpengaruh pada pola dan gaya hidup. Semua harus menyesuaikan kelasnya. Begitu pandangan Aytun, ketika mendengar suaminya naik jabatan sebagai kepala dinas.
4

Pentigraf "Wanita" Karya Ibu Aat Sumiati

Wanita (Gambar Kushadi)

Wanita itu harus kuat. Kuat fisik kuat mental. Kuat semua. Menjadi seorang ibu adalah kodrat alami. Kasih sayang ibu akan  menjadi energi besar buat keluarga dalam beraktifitas sehari-hari. Cerianya sedihnya dan cerewetnya akan mewarnai hari-hari keluarga bahagia. 

1

Jus Kiwi

Pentigraf 
Oleh Mardiani


Berjalan kaki dari Masjidil Haram ke makhtab adalah hal menyenangkan. Banyak  jemaah haji yang melakukannya selepas sholat di Masijidil Haram. Selain menikmati pemandangan kota Mekah yang bersih dan nyaman, kita juga bisa menjumpai para pedagang kakki lima serta  kios-kios di sepanjang  jalan  yang menjual oleh- oleh khas Mekah. Sajadah, sorban, gamis, jilbab, parfum, Jam tangan, lukisan kaligrafi dan pernak-pernik  lainnya bisa kita dapatkan dengan harga murah asal kita pintar menawarnya meskipun dengan bahasa tarzan. Kios-kios penjual makan dan minumanpun banyak dijumpai di sana. Ada yang menjual  makanan cepat saji seperti kebab, pizza, paket nasi briyani dan makanan-makanan khas timur tengah lainnya juga berbagai macam minuman serta jus buah segar.  Ceuceu  dan  suaminya, Kakang ,  adalah pasangan  jemaah haji yang juga sangat menikmati kegiatan  berjalan kaki dari Masjidil Haram ke Bahuthmah, sebiah perkampungan haji diujung selatan kota Mekah. 
1

Rabu, 01 Desember 2021

Blog Walking

Blog Walking (Dok. Didno)



Malam kian merangkak. Berjalan meniti langkah jarum jam dinding yang setia bertengger di dinding ruang kerjaku. Detaknya dengan pasti mencumbui waktu hingga hari ini kan berakhir. Berganti esok. 

1

Efek Naik Vespa Antik

Gambar nusagates.com
         
Pentigraf
Oleh Yoyon Supriyono

Vespa memang jenis sepeda motor keren pada masanya. Karna mesinnya bandel, motor jenis ini tahan lama. Saat ini, motor Vespa tergolong motor antik. Apalagi yang tahun produksinya tergolong tua, dan kondisinya masih ok, harganya bisa selangit. Paimin yang jatuh cinta pada jenis motor ini, rela menjual N-max barunya demi membeli Vespa antik tahun 60-an. Aytun sebetulnya kurang setuju lantaran joknya terpisah. Kan kalau dibonceng jadi kurang mesra, dalihnya.
0

"Perintah Baju Dimasukkan"

          

Pentigraf
Oleh Yoyon Supriyono

Menjadi guru, bagi Paimin banyak suka dukanya. Walaupun hanya bertugas beberapa waktu sebagai guru pengganti, Paimin merasa betah. Ternyata membersamai anak-anak itu menyenangkan dan ada kepuasan tersendiri. Paimin menggantikan guru yang cuti karna sakit. Ia bertugas mengajar siswa SD kelas lima.

Saat itu hari Senin. Paimin sudah berdandan rapih. Ia berdiri di depan gerbang sekolah mendampingi Bu kepsek. Satu demi satu anak-anak menyalami mereka. Ketika ada anak yang pakaiannya belum rapih, Paimin langsung menegur dan memberi nasihat agar bajunya dimasukkan ke celana. Juga bila mendapati anak berambut panjang, Paimin menyuruhnya potong rambut sepulang sekolah.

Bel berbunyi. Dari pengeras suara terdengar aba-aba agar anak-anak berbaris di lapangan upacara. Di antara barisan ada seorang anak yang tidak berbaju. Tentu saja hal ini menjadi perhatian para guru. Bu Ine, kepala sekolah, langsung menghampiri dan bertanya mengapa anak itu tidak memakai baju. Anak laki-laki yang ternyata siswa baru itu menjawab tanpa beban. "Kan kata pak guru itu, bajunya suruh dimasukkan ke celana." Paimin melongo menyaksikan anak itu menunjuk ke arahnya. Bu Ane dan guru lain tersenyum melihat celana anak itu melembung terisi baju.
1

Pentigraf "Motorku" Karya Ibu Lilis Yuningsih

Motor baru (Gambar oto.com)


Pentigraf atau Cerpen Tiga paragraf kali ini karya Ibu Lilis Yuningsih berjudul "Motorku". Pentigraf tersebut pernah dipublikasi di Gurusiana pada tanggal 21 Juni 2020 lalu. 

1

Pentigraf "Menunggu" Karya Ibu Lilis Yuningsih

Parkir mobil (Ilustrasi tempo.co)

Pentigraf atau Cerpen Tiga paragraf kali ini karya Ibu Lilis Yuningsih berjudul "Menunggu". Pentigraf tersebut pernah dipublikasi di Gurusiana pada tanggal 21 Agustus 2020 lalu. 

1

Pentigraf "Lupa Pulang" Karya H. Warnita Dewanata

 

Sepasang suami istri naik sepeda motor (Ilustrasi Kompas.com)

Seperti biasanya semua orang ketika di penghujung bulan menanti waktu bersama untuk belanja di sebuah swalayan yang sudah menjadi kebiasaan aktivitas masyarakat kota. Pasangan suami isteri dengan girangnya pergi bersama setelah suaminya mendapatkan uang dalam amplop dengan menyisakannya ditaruh di atas lemari, kemudian dengan menggunakan sepeda motor pergi ke salah satu swalayan yang ada dikota tersebut, pasutri itu ternyata baru seminggu menikah dengan pasangannya dan mereka cukup Bahagia.

“mas kita mampir ke swalayan ya” sela isterinya sambil tersenyum dan berharap.

“iya sayang …” sahut suaminya yang baru habis gajian walaupun terkadang memiliki rasa khawatir yang berlebihan, suaminya berfikir bakal menyusut uang persiapan bulanannya.

8